Tak terasa, hari telah berubah menjadi gelap, burung-burung pun kembali ke sarang mereka yang nyaman. Yang tertinggal hanyalah suara motor-motor dan mobil-mobil yang masih berlalu lalang di jalanan dan tak lupa meninggalkan asapnya walaupun teknologi sudah dibilang canggih, tetapi itulah faktanya sekarang. Masih banyak polusi udara yang mencemari bumi ini. Tapi, itu semua sudah menjadi tidak penting lagi. Dengan teknologi yang terlalu canggih itu, kita semua menjadi lupa. Lupa bahwa ada hal yang lebih penting dari sekedar mengikuti kecanggihan teknologi atau sibuk mengurusi masalah lingkungan yang semakin tercemar oleh banyaknya polusi yang timbul.
Di seberang jalan itu, terdapat anak kecil yang dengan nyamannya tidur beralaskan koran, bahkan tak jarang pula hanya beralaskan lantai. Anak kecil yang seperti itu tidak hanya satu, tapi ada banyak, entah ada berapa, puluhan, ratusan, ribuan, atau bahkan puluhan ribu lebih jika angkanya dijumlahkan di seluruh Indonesia. Mengapa mereka melakukan hal tersebut? Tidakkah mereka punya rumah? Bukankah mereka punya orangtua yang menanti kepulangan mereka? Ataukah mereka tidak punya famili dan kerabat yang dapat menampung tinggal mereka? Mengapa mereka melakukan hal tersebut? Benarkah dugaan-dugaan kalau tidak ada rumah, orangtua, atau famili dan kerabat yang menanti kepulangan mereka itu benar adanya? Lalu, jika memang begitu, di manakah letak keadilan yang dipuja-puji negeri ini? Negeri ini yang katanya menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, negeri yang katanya tanah surga di mana tongkat kayu dan batu jadi tanaman, negeri yang katanya sudah berpendidikan dengan banyaknya sarjana, profesor, dan doktor. Ke mana semua predikat-predikat itu yang menunjukkan negeri kita makmur dan kita menjadi orang paling beruntung di dunia karena kekayaan alamnya yang melimpah? Sekarang aku menjadi ragu. Mengapa? Ya, mengapa? Benarkah ibu pertiwi itu ada? Seorang ibu yang normal, tidak seharusnya menelantarkan anaknya, apalagi anaknya dalam keterpurukan. Lalu, aku bertanya kembali, apakah memang benar ada ibu pertiwi? Namun, tak ada jawaban yang aku dapat.
Ironis memang, ketika melihat apa yang kita punya dengan fakta yang ada. Sebagian anak yang beruntung tidak sampai tidur hanya beralaskan koran atau bahkan lantai. Mereka yang beruntung itu, seolah tidak melihat adanya kenyataan bahwa masih banyak anak yang tidak beruntung seperti mereka. Mereka lupa bahwa mereka menginjakkan kaki dan menghirup udara yang sama di atas bumi Indonesia ini. Mereka pikir, anak-anak yang tidak beruntung tersebut bukan bagian dari mereka, padahal sebaliknya, anak-anak tersebut juga adalah bagian dari rakyat Indonesia yang hidup di tanah air Indonesia. Lalu, sebenarnya negara Indonesia itu ada di mana? Apakah hanya merupakan pikiran kita saja, karena ketika kita panggil walaupun sampai berteriak sampai suara ini habis, Indonesia yang kita panggil tidak kunjung datang. Sebenarnya seperti apakah wujud asli Indonesia itu? Apakah Indonesia hanyalah sebuah nama yang menunjukkan identitas kita agar berbeda dari orang lain? Apakah hanya sekedar itu? Lalu, seperti apakah orang-orang Indonesia itu sendiri? Apakah Indonesia adalah kumpulan orang-orang sombong dan tidak berperasaan yang selalu memandang rendah orang lain? Apakah Indonesia adalah kumpulan orang-orang yang meminta-minta yang selalu menampakkan perasaan susah sehingga mengundang rasa iba? Apakah kumpulan orang-orang berperilaku aneh dengan menganggap orang lain yang tidak sama bukan merupakan bagian dari diri mereka? Apakah orang Indonesia adalah orang-orang yang selalu bersenang-senang dan menghambur-hamburkan uang mereka? Apakah orang Indonesia adalah orang-orang pemarah yang suka balas dendam dan meributkan hal-hal sepele? Apakah orang Indonesia adalah orang-orang yang selalu bersantai dan menghabiskan waktu mereka tanpa melakukan apapun sehingga mereka selalu menikmati hidup merek? Ataukah kumpulan-kumpulan orang yang lain lagi yang aku tidak tahu? Sulit memang, jika aku harus mengidentifikasi satu-persatu jenis orang yang ada di Indonesia ini. Indonesia ini luas, terbentang dari Sabang sampai Merauke. Karena luasnya, pemerintah yang dipercaya untuk menjalankan negara ini sampai tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka tidak tahu mana yang penting bagi rakyat Indonesia, anak-anak dari ibu pertiwi. Apakah mereka benar-benar tidak tahu? Atau mereka lupa bahwa anak-anak ibu pertiwi itu tidak hanya orang-orang seperti mereka saja? Apakah mereka tidak tahu kalau anak-anak ibu pertiwi ada yang kulitnya putih, kuning, coklat, bahkan hitam? Anak-anak ibu pertiwi ada yang tinggi, sedang, dan pendek. Anak-anak ibu pertiwi ada yang berambut lurus, berombak, keriting, dan bahkan botak. Anak-anak ibu pertiwi ada yang genius, pintar, biasa saja, dan bahkan ada yang terbelakang mental. Anak-anak ibu pertiwi memiliki bahasa daerah masing-masing yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Anak-anak ibu pertiwi ada banyak sekali dengan segala hal lain yang mereka miliki, baik persamaan maupun perbedaan. Mereka pun berhak mendapatkan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh sebagian anak-anak ibu pertiwi yang bernasib beruntung itu. Tidakkah mereka semua tahu akan hal itu? Ataukah mereka hanya peduli dengan keadaan mereka sendiri tanpa mempedulikan keadaan orang lain? Tidakkah mereka merasakan perasaan yang sama seperti yang dialami anak-anak ibu pertiwi lainnya? Jangan-jangan mereka bukan anak ibu pertiwi yang memang tidak mengerti keadaan saudara-saudaranya. Jangan-jangan ada ibu tiri yang telah menggantikan ibu pertiwi, sehingga anak-anak dari ibu pertiwi dikesampingkan? Aku pun merenung sejenak akan semua hal itu, berpikir untuk mencari jawaban atas segala pertanyaan yang ada.
Di zaman yang modern dan canggih ini, peran-peran manusia mulai dapat tergantikan dengan adanya mesin-mesin. Mesin-mesin tersebut dapat bekerja dengan baik, bahkan lebih baik dari manusia sebagai penciptanya. Mesin-mesin tersebut dapat bekerja dengan baik dan tak kenal lelah, hanya perlu diberi pelumas agar tidak seret. Kemudian, ketika mesin-mesin tersebut sudah tua dan bahkan rusak tidak dapat dipakai lagi, maka mereka akan dibuang. Mereka akan diganti lagi dengan yang baru. Manusia pun ada yang diperlakukan sama seperti itu. Tetapi, bedanya manusia punya hati, tidak seperti mesin-mesin yang telah diprogram hanya untuk melaksanakan tugasnya tanpa memikirkan hal lain. Tidak seharusnya manusia acuh tak acuh terhadap sesamanya. Manusia itu bukan mesin yang dapat dibuang begitu saja. Jika kita melihat orang-orang di sekitar kita, apakah mereka semua adalah mesin yang tidak punya hati? Ketika mereka berjalan, mereka tidak memperhatikan keadaan sekitar mereka. Apakah mereka semua memang orang yang seperti itu? Tidakkah mereka melihat bahwa di sekitar mereka masih ada anak-anak terlantar yang tidak tahu arah dan tujuan? Anak-anak tersebut masih mengharap iba dari kita semua. Jika mereka diberi pilihan, tentu saja mereka tidak mau berbuat seperti itu. Mana ada orang yang menolak jika mendapat kebahagiaan? Jika memang ada yang menolak, pastilah orang itu telah memiliki tekad bulat, bukan karena terpaksa, di mana orang tersebut percaya akan mendapatkan hal lain dengan menolak kebahagiaan yang diberikan. Setidaknya, sebagai orang yang tinggal dan hidup di bawah langit yang sama, tunjukkanlah rasa simpati kita, syukur-syukur kita bisa menunjukkan rasa empati kita, sehingga kita bisa benar-benar mengerti bagaimana perasaan anak-anak tersebut. Lalu, bagaimanakah dengan pejabat-pejabat terhormat yang hidup nyaman di sana? Apakah mereka pernah melihat anak-anak yang terlantar dan tidak punya tempat tinggal tersebut? Ataukah mereka pura-pura tidak melihat mereka? Apakah yang dilihat oleh mereka hanya tamu-tamu penting yang selalu tidak lupa membawa bingkisan-bingkisan mentereng? Memang, mereka hanya anak-anak yang terlantar. Tetapi, pernahkah kita berpikir ulang dan mempertanyakan kenapa mereka bisa terlantar? Sebenarnya siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap mereka? Seorang ibu yang normal tidak mungkin menelantarkan anaknya. Aku kembali bertanya, mengapa banyak ibu yang menelantarkan anaknya sehingga sampai seperti itu? Mungkin, para ibu itu sudah tidak sanggup lagi mengurus mereka karena keterbatasan ekonomi sehingga terpaksa menelantarkan mereka, atau ada sebab-sebab yang lain. Kemudian, jika mereka semua adalah sebagai anak Indonesia, mereka punya ibu pertiwi yang seharusnya menjaga dan melindungi mereka apapun yang terjadi. Lalu, di manakah ibu pertiwi? Apakah ibu pertiwi tidak peduli dengan anak-anaknya? Mengapa ibu pertiwi diam saja ketika sebagian anaknya telah berlaku sewenang-wenang terhadap anak yang lain. Dan aku pun merenung kembali, tetapi kini aku mendapatkan jawabannnya. Tak tahulah aku di mana ibu pertiwi itu sekarang. Mungkin, ibu pertiwi telah lama mati sehingga tidak ada lagi yang dapat menasehati anak-anaknya yang tidak peduli dengan saudara-saudaranya. Ibu pertiwi telah mati tanpa ada yang menyadari, hanya anak-anaknya yang telah mengkhianati amanat ibu pertiwi itu saja yang sadar bahwa ibu pertiwi telah mati.
Depok, 28 Oktober 2011, 00.02 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar